A. Pengertian Hukum
Internasional
Pada dasarnya yang dimaksud hukum
internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena
dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum
internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional
adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan
pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang
dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang
dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan pada
kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di
dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum
internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara
negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan
oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius
atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak
memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang
dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang
dibuat oleh Charles
Cheny Hyde
:
“ hukum
internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar
terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh
negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan
antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :
a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi
internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang
berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional
dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional
dengan individu atau individu-individu ;
b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan
individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”
(Phartiana, 2003; 4)
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan
Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai
keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan
negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara
satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas,
secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan
substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek
atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal
atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah
atau peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak
bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional,
sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana
sebelumnya.
B. Sejarah dan Perkembangan
Hukum Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah sejak
lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi
Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium,
Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi,
dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang
diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium
berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth
(Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law
of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional modern
mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian
Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di
Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan
kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan
derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan
berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
(Phartiana, 2003 ; 41)
Perkembangan hukum internasional modern
ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi
menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip
hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi
berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan
yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat.
Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang
bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de
Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico
Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)
Sementara itu, menurut golongan Positivis,
hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat
oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional
adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam
perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du
Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa
hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran
Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan
Emerich de Vattel
Pada abad XIX, hukum
internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang,
antara lain : (1) Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk
selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu
sama lain, (2). Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making
treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase, (3).
Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami
perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai
berikut: (1). Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat
dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara, (2). Kemajuan pesat
teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan
baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya
perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral,
regional maupun bersifat global, (4). Bermunculannya organisasi-organisasi
internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ
subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003;
7)
C. Sumber-sumber Hukum
Internasional
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi
dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti
formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas
materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal adalah
sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri.
Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk
atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.
Sumber hukum internasional dapat diartikan
sebagai:
1. dasar kekuatan mengikatnya hukum
internasional;
2. metode penciptaan hukum internasional;
3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit. (Burhan
Tsani, 1990; 14)
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah
dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international
conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international
custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general
principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision)
dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber
hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)
D. Subyek Hukum
Internasional
Subyek hukum internasional diartikan
sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan
hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum
internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum
internasional
Dewasa ini subjek-subjek hukum
internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:
- Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai
Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai
pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. penduduk yang tetap;
b. wilayah tertentu;
c. pemerintahan;
d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan
negara lain
- Organisasi
Internasional
Klasifikasi organisasi internasional
menurut Theodore A Couloumbis dan James H.
Wolfe :
a. Organisasi internasional yang memiliki
keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum,
contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang memiliki
keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya
adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International
Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi
internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global,
antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union .
- Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional,
hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena
faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan
hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat
strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi
dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di
bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional
mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang
Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari
negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International
Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.
(Phartiana, 2003; 123)
- Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek
hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929,
antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang
tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang
sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum
internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak
seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian
dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus
sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui
secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan
diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di
Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan
besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)
- Kaum Pemberontak / Beligerensi
(belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul
sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena
itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun
apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang
saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke
negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat
oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut,
berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak
menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
- Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah
hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta
tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama
setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948
diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di
berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai
subyek hukum internasional yang mandiri.
- Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan
fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini,
memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa
tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan
perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan
kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi,
struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
E. Hubungan Hukum
Internasional dengan Hukum Nasional
Menurut teori Dualisme, hukum internasional
dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda.
Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang
terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi.
Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan
ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka
yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum
internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut
teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional,
yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum
nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum
nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani,
1990; 26)
F. Penyelesaian Sengketa
Internasional Secara
Damai .
Ketentuan hukum internasional telah
melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini
seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa
Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang
kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan
selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai
Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar
“semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa
agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai
dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang
akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui
pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:
- Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui
arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada
arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan
dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum.
Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu
sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang
bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1). Perlunya persetujuan para pihak dalam
setiap tahap proses arbitrase, dan
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar
menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan
prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur
pengadilan arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator
atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau
dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para
pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh
suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus
para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan
arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada
keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar
pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus
dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang
harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani,
1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan
beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang
Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce)
yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes)
yang berkedudukan di Washington
DC ;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia
(Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur , Malaysia ;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk
Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di
Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
- Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa
mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang
bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata
kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang
bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan
Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun,
walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional,
bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945,
setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan
konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.
Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum
utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah
Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari
Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal
yang tidak mengalami perubahan secara signifikan
Secara umum, Mahkamah Internasional
mempunyai kewenangan untuk:
1. melaksanakan “Contentious Jurisdiction”,
yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para
pihak yang bersengketa;
2. memberikan “Advisory Opinion”, yaitu
pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah
memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory
Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan
Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai
oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international
conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international
custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general
principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision)
dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber
hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa
mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan
dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika
ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah
Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para
pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara,
namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan
oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan
dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus
dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan
memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
G. Peradilan-Peradilan
Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa
1. Mahkamah Pidana
Internasional (International Court of Justice/ICJ)
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak
pembentukannya telah memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional
sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Selain Mahkamah Internasional (International
Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini
Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum
acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta
tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
Berbeda dengan Mahkamah Internasional,
yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di
bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar
Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter
(kemanusiaan) serta agresi.
Negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini,
tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta
Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)
2. Mahkamah Kriminal
Internasional untuk Bekas Yugoslavia
(The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)
Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827,
tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag,
Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang
bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter
internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia . Semenjak Mahkamah ini
dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat dan 20
diantaranya telah ditahan.
Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga
dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin terkenal, seperti Slobodan Milosevic
(Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia),
yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum
perang. (Mauna, 2003; 264)
3. Mahkamah Kriminal
untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda )
Mahkamah ini bertempat di Arusha , Tanzania
dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk meminta
pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal sekitar 800.000
orang Rwanda ,
terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998
terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema
dan Obed Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) .
Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan
khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada
tahun 1994.
Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal
Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum
selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan
mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman
pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang
telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah
Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk
membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki sifat ad
hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)
Referensi
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum
Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public
International Law, Fourth Edition, Clarendon Press, Oxford
Burhantsani, Muhammad ,
1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta
: Penerbit Liberty.
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional;
Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT.
Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum
Internasional, Penerbit
Mandar maju, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar