Asas-asas umum
dalam suatu perjanjian
- Asas-asas umum perikatan
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat timbul dari dua hal yaitu
karena perjanjian dan atau karena undang-undang. Perikatan yang lahir dari
perjanjian adalah perikatan yang timbul atas dasar sepakat berdasarkan asas
kebebasan berkontrak antar para pihak. Kesepakatan tersebut berlaku dan mengikat
sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dengan kesepakatan tersebut
(pasal 1338 KUHPerdata).Terlepas dari sumber timbulnya perikatan, setiap
perikatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut[1]
:a.
Hubungan hukumHubungan hukum tersebut melekatkan hak pada satu pihak dan
kewajiban pada pihak lainnya. Pelanggaran oleh satu pihak atas hubungan
tersebut, menempatkan hukum untuk berperan dalam pemenuhan atau pemulihannya b. Kekayaan dan immaterialitasHubungan
hukum yang dapat dinilai dengan uang merupakan suatu perikatan. Namun,
sekalipun hubungan hukum tidak dapat dinilai dengan uang, apabila rasa keadilan
masyarakat menghendaki agar suatu hubungan diberi akibat hukum, maka hukumpun
akan melekatkan akibat huykum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan c. Pihak – pihakPada setiap
perikatan setidak-tidaknya harus ada satu pihak yang bertindak sebagai kreditur
dan satu pihak sebagai debitur. Kreditur dan debitur dalam hal ini adalah
pengertian yang luas menyangkut kepada prestasi yang dituntut dan
kontraprestasi yang diharapkan. Satu kreditur dapat menjadi debitur pada saat
yang sama, namun dengan prestasi dan kontraprestasi yang resiprokal. Misalnya
seorang penjual adalah kreditur terhadap harga penjualannya namun adalah
merupakan debitur yang mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa
yang diperjanjikan. Hal yang sebaliknya berlaku bagi pembeli. d. Prestasi (objek hukum)Pasal 1234
KUHPerdata membedakan prestasi dalam bentuk :
1)
Memberikan sesuatu 2) Berbuat
sesuatu3)
Tidak berbuat sesuatu
- Asas-asas umum perjanjian
Asas-asas
umum perjanjian ini pada umumnya berlaku secara universal baik dalam sistem
hukum kontinental maupun dalam sistem hukum anglo saxon. Asas-asas tersebut
terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku
III KUHPerdata tentang PerikatanAsas-asas umum perjanjian adalah[2]
:a.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)Para pihak bebas
menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun
perundang-undangan. b.
Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)Timbulnya berdasarkan
perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas
tertentuc.
Asas kepercayaand.
Asas kekuatan mengikatMengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal
yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan
diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undange. Asas
persamaan hukumf.
Asas keseimbanganAsas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan prestasi
melalui kekayaan debitur. Debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik g. Asas kepastian hukumh. Asas
morali.
Asas kepatutanj.
Asas kebiasaanSuatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang
secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim
diikuti
- Perjanjian Baku
Dalam Undang-undang
nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.Secara sepintas, dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan
atau tidak sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan
konsensual, mengingat terms and conditionnya telah ditetapkan (pre
determined) secara sepihak. Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat
syarat tersebut oleh pihak lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang
bersangkutan telah mengikatkan diri untuk menerima persyaratan persyaratan
dimaksud. Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga
bahwa terms and condition tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan,
kepatutan, keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara objektif
faktual berada dalam posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual
tersebut antara lain dapat berupa tidak adanya alternatif untuk mendapatkan
pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak adanya waktu yang cukup bagi satu
pihak untuk merundingkan terms and conditions atau posisi tawar yang relatif
lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau karena sifat barang
dan/atau jasa yang menjadi objek perjanjiannya. Kontrak baku adalah
kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan tersebut timbul mengingat
sifat-sifat dari transaksi seperti berulang-ulang dan relatif homogen, berlaku
umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia perdagangan.Namun
demikian, Undang-undang membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan
ketentuan dan syarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum
pada perikatan. Undang-undang no. 8 tahun 1999 dalam konsideransnya
menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab; Selain itu juga dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penting
untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha;Berdasarkan penjelasan pasal 18 ayat 1 Undang-undang nomor 8 tahun
1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku justru diperlukan untuk
melindungi asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu.
Selengkapnya bunyi pasal 18 Undang undang nomor 8 tahun 1999 adalah sebagai
berikut : Pasal 18(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. menyatakan pengalihan
tanggung jawab pelaku usaha;b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;c. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli oleh konsumen;d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran e. mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;h. menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini. Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan
konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada
perikatan dalam KUHPerdata, pada pasal 1493 dan pasal 1494 yang berbunyi
sebagai berikut : Pasal 1493Kedua belah pihak, dengan
persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban
yang ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan
persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun.Pasal 1494 Meskipun
telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia
tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya,
segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. Satu hal
yang sangat jelas pada kedua produk perundang-undangan di atas adalah tidak
diperbolehkannya satu pihak yang seyogianya bertanggungjawab tetapi mengalihkan
atau tidak mengakui tanggungjawab tersebut, atau yang disebut sebagai klausul
eksonerasi. D.
Perjanjian valet parkir sebagai perjanjian jasa untuk penitipan
barangDari sisi KUHPerdata, perjanjian valet parkir dapat digolongkan sebagai
perjanjian penitipan barang pada umumnya. Perjanjian penutupan barang diatur
dalam KUHPerdata mulai dari pasal 1694 sampai dengan pasal 1729. Perjanjian
penitipan barang ini dapat dianggap sebagai penitipan sukarela, karena pada
dasarnya konsumen dapat memilih untuk memanfaatkan jasa valet parkir atau tidak.Dalam
pasal 1706 dan 1707 dinyatakan sebagai berikut :Pasal 1706Penerima titipan
wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara
barang-barang kepunyaan sendiri.Pasal 1707Ketentuan dalam pasal di atas im
wajib diterapkan secara lebih teliti:a. jika penerima titipan itu
yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;b. jika
ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;c. jika
penitipan itu terjadi terutama untuk kepentmgan penerima titipan;d. jika
diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua
kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu. Dari pemaparan tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah
hal hal yang lumrah dan telah mendapat pengaturan dasar dalam KUHPerdata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar