Senin, 10 Desember 2012

LEGISLASI SEMU (PSEUDOWETGEVING)


Dasar Kewenangan Legislasi Semu
Sebuah pemikiran baru yang terkait mengenai hal ini muncul pada bulan September 2005. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar UI dan Ketua Mahkamah  Konstitusi, menerbitkan buku mengenai format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Tulisan tersebut juga menyinggung masalah pejabat eksekutif dan peraturan perundang-undangan.
Dalam tulisan tersebut Prof. Jimly berpendapat bahwa sebagai aparat pelaksana, pada pokoknya, para pejabat Pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan produk DPR. Memang benar bahwa setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan “beleidsregels” atau “policy rules” di luar bentuk undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen. Namun, policy rules itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa UU. Karena itu, perlu dibedakan antara materi-materi policy rules” seperti ini dengan materi dengan materi yang seharusnya dibentuk dalam undang-undang, tetapi karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat undang-undang. Bentuk peraturan ini selama ini disebut Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai pengganti undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie pula, ilmu hukum tata negara mengenal adanya prinsip freies Ermessen atau kebebasan bagi pemerintah untuk memiliki ruang gerak yang leluasa dalam usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip inilah yang selama ini dipakai untuk memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat  mandiri, terlepas dari perintah undang-undang. Atas jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang demikian adalah bahwa proses pemerintahan secara mudah dapat dilakukan dengan keputusan-keputusan Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang dikembangkan, makin banyak pula keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah undang-undang yang cenderung ditetapkan.
Karena itu, Jimly mengusulkan kiranya prinsip freis Ermersen itu di masa depan hendaklah dibatasi, baik dalam materinya maupun dalam prosedurnya. Pertama, materi yang dapat diatur melalui policy rules yang didasarkan atas prinsip freies Ermessen itu hendaknya dibedakan antara materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-undang, dan materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang.
Kedua, nomenklatur yang dipakai untuk bentuk peraturan yang memuat materi yang seharusnya dimuat dalam undang-undang itu adalah Peraturan Pemerintah atau yang dalam ketentuan UUD 1945 yang lama disebut Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Ketiga,prosedur penetapannya dilakukan oleh Presiden dan segera setelah itu dimintakan persetujuan DPR. Masa berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut paling lama adalah 1 tahun. Apabila dalam masa itu, tidak diperoleh persetujuan DPR, maka peraturan tersebut tidak berlaku lagi karena hukum, meskipun tidak dicabut secara resmi oleh Presiden.
Keempat, selain bentuk peraturan pemerintah (sebagai pengganti undang-undang) tersebut diatas, semua bentuk peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Para pejabat yang diberi hak untuk mengeluarkan produk peraturan dimaksud harus dibatasi hanya pejabat yang menduduki jabatan-jabatan yang bersifat  politik, yaitu Presiden, Menteri atau Pejabat setingkat Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa. Agar konsisten, nomenklautr untuk semua bentuk peraturan itu sebaiknya menggunakan sebutan “peraturan”, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur Bank Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian pejabat administratif seperti Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal tdak lagi diperkenankan mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik atas nama jabatannya sendiri. Semua bentuk dokumen pengaturan kepentingan publik harus dituangkan dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, dalam hal ini yaitu pejabat yang menduduki jabatan yang bersifat politis (political appointment).
Dari uraian yang ditulis oleh guru besar tata negara tersebut terlihat bahwa wewenang Pemerintah untuk menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam undang-undang,. semua bentuk peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa legislasi semu juga harus dibuat atas dasar perintah  undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Jika pendapat ini diikuti maka legislasi semu kehilangan ciri pembedanya yang  utama, yaitu pembentukannya tidak  mempunyai dasar hukum yang jelas.
Pandangan tersebut berbeda dengan pemikiran para ahli hukum administrasi pada umumnya yang berpendapat bahwa legislasi semu tidak memerlukan dasar hukum yang secara tegas memerintahkan pembentukannya.
Perbedaan Legislasi Semu dengan Peraturan Perundang-undangan
Aturan kebijakan (legislasi semu) bukan peraturan perundang-undangan. Badan yang mengeluarkan peraturan kebijaksanaan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid). Peraturan kebijaksanaan juga tidak mengikat hukum secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum. Peraturan kebijaksanaan memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikkingsbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan discretionaire karena jika tidak demikian, tidak ada tempat bagi peraturan kebijaksanaan.
Suatu terobosan di lapangan yang mempunyai relevansi hukum pada peraturan kebijaksanaan terjadi pada tahun 1970 (HR, 07-01-1970). Arrest Resolusi Pajak, AB 1970, hal. 130). Hal ini berkaitan dengan suatu pedoman di dalam surat edaran Menteri Keuangan yang tertuju pada pemeriksaan-pemeriksaan pajak. Surat edaran ini, dengan sepengatahuan departemen, diumumkan oleh penerbit swasta. HR menentukan warga yang bersangkutan sejak semula berpendapat bahwa inspektur pajak akan menerapkan surat edaran tersebut. Tidak diterapkannya surat edaran dimaksud akan bertentangan dengan asas pemerintahan yang layak, yakni asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel). Karena itu, orang tidak memandang perlunya suatu pengujian langsung terhadap surat edaran, sebagaimana jika hal dimaksud terjadi bagi peraturan perundang-undangan, tetapi dengan pengujian yang tidak langsung melalui asas kepercayaan.
Suatu aspek khusus dalam kasus ini adalah bahwa badan berwenang yang ditunjuk berbeda dengan badan yang menetapkan surat edaran. Inspektur pajak sesungguhnya menurut hirarkis pegawai adalah bawahan menteri. Menteri dapat setiap saat memberi petunjuk kepad inspektur pajak. Hal ini dapat pula ditangani berdasar asas kepercayaan karena warga yang bersangkutan boleh saja percaya bahwa inspektur pajak akan mematui surat edaran menteri dan jika tidak dimungkinkan demikian, maka menteri akan memerintahaknnya pada inspektur pajak.
Di Negeri Belanda – berdasarkan suatu putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juni 1980 - suatu peraturan tertulis yang diterbitkan oleh menteri yang mengatur tentang tunjangan yang diberikan kepada mahasiswa di perguruan tinggi negeri (rijksstudietoelagen)termasuk salah satu dari bentuk aturan kebijakan/legislasi semu, karena peraturan seperti itu tidak memiliki dasar hukum.
Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan, adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis (aangeschreven harheidsclausule). Ini berarti bahwa manakala terdapat keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha negara – di dalam hal yang sifatnya individual – harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna kemaslahatan warga. Hal ini disebabkan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka badan tata usaha negara berdasar ketentuan peraturan kebijaksanaan sendiri, tidak dapt meniadakan kewenangan di dalam hal yang menyimpang dari garis kebijaksanaan. Tata usaha negara pada setiap kasus harus menanyakan sendiri apakah tidak terdapat keadaan-keadaan khusus.
Suatu perbedaan hukum lagi ialah bahwa peraturan perundang-undangan termasuk bidang hukum dan karena itu dapat diuji dalam kasasi, sedangkan peraturan kebijaksanaan termasuk dunia fakta dan karena itu tidak dapat berperan dalam kasasi.
Adanya peraturan kebijaksanaan di Indonesia dapat dilihat pada pelbagai keputusan, surat edaran, surat edaran bersama, dan lain-lain, yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Hanya saja produk peraturan kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar diberlakukan sebagai “peraturan kebijaksanaan” mengingat ketiadaan wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan itu kadangkala masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum (rechtmatigheid). Hal dimaksud mengakibatkan bahwa suatu peraturan kebijaksaan adakalanya dinilai sebagai produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
Sebagai contoh pengalihan status kayu-kayu hitam (ebony logs) eks tebangan lama di kawasan hutan Sulawesi Tengah menjadi kayu milik negara sebagaimana ditetapkan pada Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Penguasahaan Hutan, Nomor 114/Kpts/IV-Tlb/1988 tentang Batas Waktu Penurunan Kayu Ebony Eks Tebangan Lama di dalam Areal HPH, tanggal 29 Februari 1988, adalah satu contoh aturan kebijaksanaan. Disyaratkan bahwa semua kayu ebony hitam (ebony logs) itu dinyatakan menjadi milik negara. Surat Keputusan Dirjen Penguasaan Hutan dimaksud menyatakan tidak berlakunya Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan sebelumnya, yaitu tanggal 8 Februari 1986, Nomor 038/Kpts/IV/1986 yang menetapkan bahwa semua kayu hitam (ebony logs) yang berada pada areal HPH (dan setelah melalui batas tertentu belum diturunkan oleh pemiliknya) diberikan kepada pemegang HPH yang bersangkutan guna dimanfaatkan.  Tidak tepat jika SK Dirjen Pengusahaan Hutan tanggal 29 Februari 1988 Nomor 144/Kpts/IV-Tlb/1088 itu dipandang telah memuat kewenangan pencabutan hak atas benda-benda  bergerak (yang harus diatur atas dasar undang-undang) mengingat hal tersebut pada kenyataannya merupakan rangkaian dari kebijaksanaan pengaturan kayu hitam (ebony logs) yang harus segera diturunkan guna diolah (a.l. di “dolken) dan dipasarkan.

Peran Legislasi Semu dalam Penyelengaraan Pemerintahan
Legislasi semu memainkan peran penting dalam birokrasi pemerintahan dimanapun di dunia ini, termasuk di Indonesia. Legislasi semu salah satu bentuk dari instrumen hukum publik yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.
Pertimbangan untuk membentuk legislasi semu haruslah benar-benar cermat karena keadaan mendesak yang mengharuskan pemerintah segera mengeluarkan sebuah legislasi (aturan), karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dipakai oleh pemerintah sebagai dasar perbuatan hukum pemerintah yang hendak dilakukan (ingat asas legalitas!).
Meskipun dasar penerbitan legislasi semu adalah kewenangan diskresioner (discretionary power) atau freies Ermessen, namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan seenaknya. Dengan demikian :
  • Substansi legislasi semu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  • Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena pemerintah memerlukan suatu peraturan untuk menjalankan tugas umum pemerintahan;
  • Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral
Sebagai contoh dari substansi legislasi semu dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan pengumuman bagi calon mahasiswa Akademi Keimigrasian tentang salah satu syarat bahwa calon mahasiswa tinggi badannya paling kurang 165 cm.
  2. Menteri Hukum dan HAM menetapkan bahwa seorang pegawai negeri berusia 55 tahun tidak dapat dipromosikan lagi dari eselon III untuk menduduki jabatan eselon II B dan II A.
  3. Menteri Hukum dan HAM mengharuskan calon pejabat yang akan menduduki jabatan eselon II A harus pernah bertugas di daerah;
  4. Menteri Hukum dan HAM menetapkan klasifikasi lembaga pemasyarakatan
  5. Menteri Pendidikan Nasional menetapkan berbagai persyaratan terhadap calon mahasiswa yang akan memasuki perguruan tinggi (misalnya lulus Ujian Masuk Bersama).
  6. Kapolri memerintahkan kepada segenap jajaran polisi untuk melakukan pemeriksaan terhadap pawai peserta unjuk rasa dan menindak mereka yang membawa senjata tajam, dan melarang pawai diadakan di lokasi yang berdekatan dengan kawasan vital (istana, gedung DPR/DPRD, dan lain-lain).

Ciri-ciri Legislasi Semua (Peraturan Kebijaksanaan)
Menurut Bagir Manan, seperti dikutip oleh Ridwan HR, peraturan kebijaksanaan (legfislasi semu) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan;
  2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan;
  3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tiodak ada dasar peraturan perundang-undangan untukmembuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut;
  4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan;
  5. Pengujian terhadap peratruran kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak;
  6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.
Bentuk-bentuk Legislasi Semu
Dalam praktek pemerintahan sehari-hari legislasi semu dapat diterbitkan oleh semua badan atau organ pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Umumnya format dan nomenklatur yang dipakai untuk legislasi semu berbeda dengan peraturan perundang-undangan, walaupun dapat pula dijumpai substansi legislasi semu dituangkan dalam format perundang-undangan.
Tidak ada suatu format baku yang digunakan dalam pembentukan legislasi semu. Beberapa contoh yang populer legislasi semu dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Surat Edaran (SE), biasanya digunakan oleh seorang pejabat (menteri atau direktur jenderal) untuk memberitahukan kepada jajaran di bawahnya mengenai suatu kebijakan yang harus dilaksanakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Di lingkungan perpajakan (sebelum lahirnya UU Ketentuan Umum Perpajakan yang baru)  banyak terdapat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang mengatur berbagai persoalan teknis perpajakan. Demikian pula di lingkungan Departemen Hukum dan HAM, dapat dikemukakan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum yang mengatur tentang tata cara pendaftaran fidusia sebagai pedoman bagi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam memberikan pelayanan publik mengenai pendaftaran akta jaminan fidusia.
2. Petunjuk Pelaksana, yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai pedoman bagi bawahan untuk melaksanakan peraturan tertentu yang termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.
3. Petunjuk Operasional atau Petunjuuk Teknis yang memuat berbagai cara teknis adminstratif dan operasional mengenai tugas tertentu.
4. Instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah untuk menjalankan tugas tertentu.
5. Pengumuman, yang antara lain berisi informasi yang diperlukan bagi masyarakat yang berkepentingan mengenai suatu pelayanan publik yang disediakan oleh instansi pemerintah.

Ditulis oleh Drs. Zafrullah Salim, M.H.Selasa, 10 May 2011 13:09



Tidak ada komentar:

Posting Komentar